♥ بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم ♥
Jika benar cinta itu kerana
ALLAH,Maka biarkanlah ia mengalir mengikut aliran ALLAH kerana hakikatnya ia
berhulu dari ALLAH maka ia pun berhilir hanya kepada ALLAH,Kerana hati ini
begitu mudah untuk dibolak-balikkan,serahkan rasa yg tiada sanggup dijadikan
halal itu pada Yang Memberi dan Memiliki-NYA,biarkan DIA yg mengatur semuanya
hingga keindahan itu datang pada waktunya.
"Yaa
Rabbi, Ajarilah kami bagaimana memberi sebelum meminta,berfikir sebelum
bertindak,santun dalam berbicara,tenang ketika gundah,diam ketika emosi
melanda,bersabar dalam setiap ujian.Jadikanlah kami orang yg selembut Abu Bakar
Ash-Shiddiq,sebijaksana Umar bin Khattab,sedermawan Utsman bin Affan,sepintar
Ali bin Abi Thalib,sesederhana Bilal,setegar Khalid bin Walid radliallahu�anhum.. Amiin ya Allah"
Kisah ini diambil
dari buku Jalan Cinta Para Pejuang, Salim A.Fillah chapter aslinya berjudul
“Mencintai sejantan ‘Ali”
Ada rahasia
terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib
kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh
memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah
gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan
kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan
penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah
ayahnya.
Semuanya dilakukan
dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya
tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit.
Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula
saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam.
Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut
jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan!
‘Ali tak tahu
apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari
mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling
akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam
dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya
tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
”Allah mengujiku
rupanya”, begitu batin ’Ali.
Ia merasa diuji
karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakr
lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali,
namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi.
Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara
’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.
Lihatlah juga
bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan
saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman,
’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini
yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.
Lihatlah berapa
banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal,
Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang
dibebaskan ’Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insya Allah lebih
bisa membahagiakan Fathimah.
’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.
”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.
”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku
mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”
Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia
mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau
pengorbanan.
Beberapa waktu
berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat
layu.
Lamaran Abu Bakr
ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian
itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah
seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk
Islamnya membuat kaum Muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki
yang membuat syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut.
’Umar ibn Al
Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang
melamar Fathimah. ’Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah
’Ali dan Abu Bakr. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang
menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan
semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya
pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya
Nabi berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu
Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..”
Betapa tinggi
kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan
bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya. ’Ali menyusul sang
Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak
menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan
di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan
bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.
’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf
tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini
putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda,
anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar
di balik bukit ini!” ’Umar adalah lelaki pemberani. ’Ali, sekali lagi sadar.
Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum
siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ’Umar jauh
lebih layak. Dan ’Ali ridha.
Cinta tak
pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan.
Itulah keberanian.
Atau mempersilakan.
Yang ini pengorbanan.
Maka ’Ali bingung
ketika kabar itu meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak.
Menantu macam apa
kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman sang miliarderkah yang
telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah,
saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah
itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.
Di antara
Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru
Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan
mereka? Sa’d ibn Mu’adzkah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau
Sa’d ibn ’Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
”Mengapa bukan
engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan
lamunan. ”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat,
engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi.. ”
”Aku?”, tanyanya
tak yakin.
”Ya. Engkau wahai
saudaraku!”
”Aku hanya pemuda
miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
”Kami di
belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”
’Ali pun menghadap
Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya
keinginannya untuk
menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang
menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah
persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun
untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas
waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua
sekarang.
”Engkau pemuda
sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap
bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-
pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. Lamarannya berjawab,
”Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.
Dan ia pun
bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan
sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk
menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan
kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung
berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah,
itu menyakitkan.
”Bagaimana jawab
Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
”Entahlah..”
”Apa maksudmu?”
”Menurut kalian
apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
”Dasar kamu!!”,
kata mereka,
”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah
cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan
kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !”
Dan ’Ali pun
menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula
ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar
cicilannya. Itu hutang.
Dengan keberanian
untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah. Dengan
keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
’Ali adalah
gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa
‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan
yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini,
cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau
mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah
keberanian.
Dan ternyata tak
kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan
bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali,
“Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta
pada seorang pemuda ”
‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa
engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?”
Sambil tersenyum
Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”
Kemudian Nabi saw
bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan
Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya
aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus Fidhdhah (dalam nilai
perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut.”
Kemudian
Rasulullah saw. mendoakan keduanya:
“Semoga Allah
mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian
berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan
yang banyak.” (kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4)